
TIDAK semua orang mau dan tertarik dengan pekerjaan yang berkaitan dengan pengolahan dan pemanfaatan. Salah satunya karena tak ingin kotor. Apalagi jika pengetahuan dan keahlian mengolah limbah menjadi barang yang bermanfaat masih sangat minim. Padahal mengolah sampah bisa saja menghasilkan uang.
Beberapa hari lalu, saya (penulis) mendatangi TPST 3R Panarung. Kedatangan saya disambut baik penanggung jawab TPST, Parlindungan Simangunsong yang juga merupakan Kepala UPT PST Pahandut dan Sabangau.
Obrolan seputar sampah dan pengolahannya pun mengalir begitu saja. Ia menyebut ada empat produk yang dihasilkan dari memanfaatkan sampah. Mulai dari pupuk kompos, pakan ternak, pelet metan, hingga maggot.
“Di sini kami selalu mengolah sampah untuk digunakan di berbagai sektor, seperti perkebunan dan peternakan,” ucap Parlindungan sembari membuka wadah yang berisikan dedaunan yang akan diolah menjadi pupuk kompos.
Produksi pupuk kompos di TPST ini, tiap harinya bisa mencapai 200 kilogram, meski angka tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan para pelaku usaha yang bergerak di bidang perkebunan dan pertanian. Contoh saja, para penjual tanaman hias di Jalan Yos Sudarso ujung yang hampit tiap hari meminta pasokan pupuk kompos dari TPST ini.
Saya berkesempatan melihat langsung proses pengolahan. Sampah yang terdapat di depo, dipilah terlebih dahulu sesuai jenis sampah, organik dan nonorganik. Kemudian sampah-sampah itu diangkut ke TPS. Selanjutnya para pekerja memasukkan sampah ke dalam mesin pemilah. Di mesin itulah nantinya daun-daun akan terpisah dengan sampah jenis lain. Lalu dicampur dengan arang sekam dan kapur pertanian.
“Di mesin ini sampah organic akan dipilih dan dipisahkan dari sampah nonorganik seperti serpihan sampah plastik,” ucap Parlindungan sembari memegang mesin tersebut.
Sampah organik yang telah pilah, kemudian dimasukkan ke salah wadah tersendiri yang merupakan tempat pengomposan sampah organik menjadi pupuk. Namun sebelumnya wadah yang berbentuk kotak tertutup agar terhindar dari pancaran sinar matahari itu telah dimasukkan tanah yang telah disiram air. Selanjutnya merupakan proses fermentasi.
Sampah yang telah dimasukkan di dalam wadah tertutup itu akan diamkan selama beberapa minggu, sembari menunggu proses pelapukan atau pengomposan.
“Biasanya didiamkan selama beberapa minggu,” tuturnya sembari membuka tudung wadah.
Proses pelapukan alami umumnya berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Bahkan bisa memakan waktu puluhan tahun. Untuk mempersingkat proses pelapukan ini, diperlukan bantuan manusia. Jika proses pengomposan dilakukan dengan benar, maka hanya membutuhkan waktu satu hingga tiga bulan saja. Tidak sampai bertahun-tahun. Setelah mencapai hari yang telah ditentukan, barulah tanah beserta sampah organik tersebut diayak.
Di tempat lain, terlihat para pekerja dan beberapa siswa magang mengayak tumpukan kompos untuk mendapatkan serbuk pupuk yang telah terpisah dari ranting-ranting.
Setelah mendapatkan pupuk yang bertekstur halus, barulah dimasukkan dalam karung. Sebagian lagi dikemas untuk selanjutnya dijual.
Parlindungan mengatakan bahwa aktivitas ini dilakukan ttiap hari. Penghasilan yang didapat pihaknya memang tidak banyak, karena keuntungan bukanlah orientasi mereka. Yang menjadi tujuan utama pihaknya adalah mengurangi angkutan sampah ke tempat pemprosesan akhir (TPA).
Selain pupuk kompos, di tempat tersebut juga dikembangkan budi daya maggot yang dikelola oleh rekannya, Supriyadi. Maggot merupakan larva lalat black soldier fly (BSF) sebagai bahan baku alternatif pakan ikan yang mengandung nutrien lengkap dan berkualitas bagus. Selain itu, ada juga pelet yang terbuat dari bahan nonorganic, yang bisa digunakan untuk pembakaran pengganti batu bara. Terakhir, ada makanan sisa yang dimasukkan ke dalam wadah yang nantinya dijual untuk pakan ternak babi. (ram/ce/bersambung/kpfm101)