Mengunjungi Sekolah Terdampak Banjir di Pinggir Kota Cantik

SEKOLAH TERDAMPAK BANJIR: Murid SDN 1 Kameloh Baru berangkat ke sekolah menggunakan perahu kecil, Kamis (15/9).

KAMIS pagi (17/9), saya (penulis) berangkat menuju Kelurahan Kameloh Baru. Melihat secara langsung aktivitas belajar mengajar pada lembaga pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMA di wilayah tersebut. Pagi itu cuaca begitu cerah. Perjalanan menuju sekolah pun dimulai. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, saya akhirnya sampai di lokasi tujuan.

Dalam satu kompleks, ada SDN 1 Kameloh Baru, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Satu Atap 3 Palangka Raya, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 8 Palangka Raya. Ketiga sekolah berbeda jenjang itu tergabung dalam satu lingkungan yang dinamakan dengan Sekolah Satu Atap.

Sekolah ini tidak memiliki ruang khusus untuk kantor, baik kantor kepala sekolah maupun guru. Bangunan yang saat ini digunakan sebagai kantor dan ruang guru merupakan bekas rumah dinas.

Para peserta didik biasanya menggunakan transportasi swadaya untuk pergi-pulang sekolah. Ada juga yang harus ikut bersama para guru, baik berangkat maupun pulang. Namun mereka tidak pernah mengeluh dengan kondisi tersebut. Mereka justru makin termotivasi karena melihat semangat para guru.

Keterbatasan akses transportasi tidak menjadi alasan untuk malas ke sekolah. Seperti yang diutarakan Jelita, pelajar kelas VIII SMP Negeri Satu Atap 3 Palangka Raya.

Meski sedikit terganggu dengan adanya genangan air di halaman sekolah yang memaksanya harus naik kelotok, remaja putri berusia 15 tahun itu mengaku tetap bersemangat untuk sekolah meskipun keadaan cukup sulit.

“Harus tetap aktif sekolah meski banjir,” ucapnya lirih.

Sementara itu, salah satu murid sekolah dasar bernama Afriza mengaku bahwa banjir membuatnya tidak bisa berjalan kaki menuju sekolah bersama teman-teman seperti biasanya. Kini ia harus menumpang kelotok. Kendati demikian, bocah berusia enam tahun itu tetap bersemangat untuk menimba ilmu di sekolah.

Banjir yang menggenangi kompleks pendidikan itu sudah terjadi sejak seminggu lalu. Kondisi ini membuat aktivitas di luar ruang kelas tidak dapat dilakukan.

“Biasanya di halaman sekolah itu kami adakan upacara bendera, olahraga, dan aktivitas-aktivitas outdoor lainnya, tapi sekarang ini tidak bisa karena tergenang air,” tutur Kepala SMP Negeri Satu Atap 3 Palangka Raya Lewie.

Masyarakat Kameloh Baru sudah terbiasa dengan bencana banjir. Inilah yang membuat para peserta didik tidak pernah menjadikan banjir sebagai alasan untuk tidak turun ke sekolah.

“Yang tidak hadir mungkin terkendala karena tidak punya sampan bermesin, karena tidak semua peserta didik punya sampan bermesin, jadi mereka harus mengayuh sampan secara manual,” tuturnya.

Bencana banjir ini sedikit banyak berpengaruh pada kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Berpengaruh pada jam pelajaran di sekolah. Waktu KBM biasanya diundur. Dari yang seharusnya pukul 07.00 WIB, molor hingga pukul 08.00 WIB. Keterlambatan peserta didik dan tenaga pendidik pun dapat dimaklumi.

“Yang telat datang memang kita maklumi, tetapi akhirnya guru-guru juga lambat pulang karena kondisi itu,” tuturnya.

Di tempat yang sama, Syahrudin selaku salah satu tenaga pendidik SD Negeri 1 Kameloh Baru menyebut, banjir yang melanda kompleks sekolah tidak memengaruhi KBM, karena peserta didik sudah terbiasa. Sejak jauh-jauh hari sudah punya kesiapan jika sewaktu-waktu terjadi banjir.

“Karena itulah proses belajar mengajar sama saja saat terjadi banjir ataupun tidak, dari dulu sudah sering banjir, jadi mudah beradaptasi,” tuturnya. Kalaupun terjadi banjir, peserta didik akan tetap berangkat ke sekolah menggunakan transportasi air. Karena jalur darat menuju sekolah hanya bisa diakses apabila kondisi benar-benar kering.

“Bisa kalau benar-benar kering, tapi kalau awal kemarau, jalannya masih belum bisa dilalui, karena banyak ranjau bekas banjir,” tuturnya sembari tersenyum.

Kondisi banjir memang tidak menjadi persoalan bagi peserta didik. Namun transportasi saat terjadi banjir menjadi masalah. Problematika itu diutarakan oleh Syahrudin, guru yang sudah mengabdi di sekolah satu atap itu sejak 2009 lalu. Dikatakannya, satu-satunya alat transportasi menuju sekolah kala terjadi banjir adalah kelotok. Apalagi sebagian besar tenaga pengajar sekolah dasar tersebut tinggal di Kota Palangka Raya.

“Karena itulah pihak sekolah mengadakan alat transportasi air berupa kelotok yang bisa ditumpangi lima hingga enam orang sekali berangkat,” ucapnya.

“Kami patungan untuk mengadakan kelotok itu, tidak ada bantuan dari pihak mana pun,” tambahnya.

Dikatakannya, karena harga kelotok cukup mahal, pihaknya memutuskan untuk mengadakannya secara bertahap. “Mulai dari beli mesin, lalu beli bodinya, enggak barengan,” sebutnya.

Akses jalan yang tidak mudah serta kompleks pendidikan yang jauh dari tempat tinggal, tidak menyurutkan semangat para tenaga didik untuk mengabdi demi kemajuan pendidikan di wilayah terpencil dan jauh dari kota. Selain itu, tugas mereka sebagai garda terdepan dalam investasi jangka panjang bangsa ini belum mendapat imbalan yang sepantasnya. Baik untuk memenuhi kebutuhan pribadi, maupun kebutuhan untuk memajukan lembaga pendidikan tempat mereka mengabdi. (*/ce/ala/kpfm101)

233 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.