Jika Ditindak Tegas, Pedagang Minta Solusi dari Pemerintah

PALANGKA RAYA-Sejatinya penjualan pakaian bekas bermerek atau trifting dilarang menurut regulasi yang berlaku di Indonesia. Akhir-akhir ini masalah ini mencuat usai Presiden RI Joko Widodo melarang keras penjualan barang itu. Larangan ini didasarkan pada sejumlah regulasi yang berlaku.
Plt Kepala Kantor Bea dan Cukai Palangka Raya Firman Yusuf mengatakan, akhir tahun lalu pihaknya bersama instansi terkait telah melakukan penindakan terhadap 27 karton pakaian bekas yang diduga merupakan barang impor ilegal. Barang-barang itu didatangkan dari Bandung dan masuk ke Kalteng melalui pelabuhan-pelabuhan.
“Per bal atau karton itu bisa berisi sekitar 300 sampai dengan 500 pcs pakaian bekas, kalau dikalikan dengan 27 karton, mungkin sekitar 8.100 sampai 13.500 pcs pakaian bekas yang sudah kami lakukan penindakan sejak akhir tahun lalu,” beber Firman kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, Senin (20/3).
Terakhir kali pihaknya melakukan penindakan terhadap pedagang pakaian bekas adalah pada Juni tahun lalu. Meski sudah dilakukan tindakan tegas, Firman mengakui sampai saat ini penjualan pakaian bekas masih saja marak. Setelah ada atensi oleh Presiden RI Joko Widodo beberapa waktu lalu, kini pihaknya akan bekerja sama dengan Disdagperin Kalteng dan kepolisian untuk melakukan penindakan terhadap perdagangan pakaian bekas itu. Untuk upaya penindakan itu, pihaknya juga berkoordinasi dengan instansi terkait.
“Penindakan ini sifatnya insidentil, kami akan lihat kondisi di lapangan. Kalau nanti ada yang kedapatan menjual dalam jumlah yang besar, misalnya puluhan karton, kemungkinan besar akan kami lakukan penegakan hukum, seperti penarikan barang dari peredaran dan lainnya,” jelasnya.
Sementara untuk toko-toko pakaian bekas yang menjual dalam jumlah kecil, seperti satu karton atau 300-500 pcs saja, pihaknya hanya akan memberi pembinaan dan peringatan agar tidak menjual lagi barang-barang itu. “Karena sebenarnya penjualan thrift itu dilarang dari sisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen atau Undang-Undang Perdagangan,” tambahnya.
Penjualan pakaian bekas, dalam hal ini bisa dalam bentuk baju, celana, jaket, dan jenis pakaian lain yang merupakan bekas pemakaian. Penjualan pakaian bekas juga melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Baru-baru ini pihaknya telah melakukan pengecekan lapangan. Namun belum ditemukan penjualan pakaian bekas dalam jumlah besar.
“Karena kami belum menemukan penjualan dalam jumlah banyak, maka kami hanya beri pembinaan supaya mereka tidak melakukan penjualan lagi,” bebernya.
Firman menegaskan bahwa tidak ada toleransi untuk penjualan pakaian bekas impor karena secara regulasi bisa dikenakan sanksi hukum.
“Cuman dari sisi kebijakan, yang menjual dalam jumlah kecil ini kami beri pembinaan atau sosialisasi sebanyak dua kali, kalau masih melakukan penjualan, barulah kami tarik barang jualannya,” tuturnya.
Tak bisa dimungkiri, meski thrifting melanggar regulasi dan sebagian pihak menilai tidak baik dari sisi kesehatan, tapi sebagian masyarakat justu berminat membeli pakaian-pakaian bekas. Firman mengatakan, untuk mengatasi perdagangan pakaian bekas ini, tidak cukup hanya dengan melakukan penegakan hukum. Perlu ada perubahan perilaku konsumen.
“Sekarang ini konsumen lebih senang untuk menggunakan barang-barang bermerek, walaupun bekas. Yang bermerek baru itu kan mahal ya, itu jadi pilihan masyarakat kita. Padahal kalau dipikirkan lagi, pakaian bekas itu tidak baik dari sisi kesehatan, kita sudah pernah uji lab, didapatkan bahwa pakaian bekas mengandung bakteri e coli yang berbahaya untuk pencernaan,” beber Firman.
Firman menjelaskan, pakaian bekas yang diimpor itu, di negara asalnya merupakan barang sampah untuk direcycle, bukan untuk dijual dan dipakai. Namun ada pihak yang mengimpornya ke Indonesia, lalu dijual dengan harga murah. Ini tentunya akan merusak industri pakaian dalam negeri.
“Dari sisi kesehatan, pakaian bekas impor itu tidak baik. Pakaian bekas yang diimpor itu sebenarnya sampah di negeri asalnya, tapi malah dijual di negeri kita,” pungkasnya.
Terpisah, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Kalteng Aster Bonawaty mengatakan, pihaknya punya kewenangan melaksanakan pengawasan terkait pelanggaran atas Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
“Perlu diketahui, tindakan ini merupakan bentuk pencegahan untuk hal-hal buruk yang bisa saja masuk menyertai pakaian-pakaian bekas impor seperti wabah virus maupun penyakit lainnya dari negara asal barang impor,” ucap Aster kepada wartawan, Senin (20/3).
Aster menilai perdagangan pakaian bekas mengganggu vendor-vendor lokal dengan produk yang sama, bahkan bisa menggerus pasar lokal, termasuk di Kalteng. “Karena mengingat harganya di bawah pasar dan thrift store juga makin menjamur, baik store fisik maupun online melalui sosial media, ini juga akan mengganggu produk lokal kita,” tuturnya.
Menyikapi masalah ini, Aster mengatakan pihaknya terus melakukan dan meningkatkan pengawasan terhadap peredaran impor pakaian bekas di pasaran, khususnya di wilayah Kalteng, bekerja sama dengan instansi terkait seperti pihak Bea Cukai dan kepolisian.
“Apabila ditemukan pelanggaran, maka akan dikenakan sanksi, karena hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor, dijelaskan bahwa barang bekas dilarang untuk diimpor, sehingga sepatu bekas ataupun baju bekas yang dibawa masuk ke Indonesia adalah barang ilegal dan tidak boleh diperdagangkan,” pungkasnya.
Sementara itu, salah satu pedagang baju bekas, Asrani mengaku omzet yang didapatkan tiap hari tidak menentu. Sasaran perjualan baju bekas adalah masyarakat kalangan bawah.
“Kalo omzet tidak menentu, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, kan kami jual pakaian bekas ini dengan target pembelinya kalangan bawah saja,” tutur pemilik Toko Baju Trifting Rajawali itu, Senin (20/3).
Asrani mengaku sudah bergelut dengan bisnis penjualan baju bekas ini selama 10 tahun. Ia mengaku bahwa ia dan pedagang baju thrifting yang ada di Palangka Raya merupakan pihak ketiga, yang mendapatkan barang dagangan itu dari Pulau Jawa. Ia juga mengaku tidak punya relasi di luar negeri.
Asrani menjelaskan, tiap pakaian yang didatangkan selalu diantarkannya ke tempat laundry. Setelah dicuci dan bersih, barulah dipilahnya lagi yang layak untuk dijual. “Biasanya baju yang tidak layak, saya pakai untuk kain lap dan kasih ke tukang bengkel,” bebernya.
Ia juga menginginkan solusi dari pemerintah terkait adanya larangan menjual pakaian bekas. Karena sebelum viral, ia telah didatangi petugas Bea Cukai dan kapolda.
“Terkait itu, saya hanya minta jalannya seperti apa, ke mana saya harus mengambil barangnya, jujur saja kalau langsung saja berjualan barang lokal, itu tidak bisa, saya akan bertahap terlebih dahulu,” tegasnya.
Asrani juga mengakui bahwa selain mendapatkan barang-barang tersebut dari Jawa, ia juga sering mendapatkan tawaran dari orang-orang sekitar yang ingin menjual pakaian bekas.
“Saya juga beli pakaian bekas dari orang-orang sekitar, ya hitung-hitung membantulah, karena yang banyak menjualkan baju bekas itu dari mahasiswa,” tegasnya.
Tidak bisa dimungkiri bahwa tak sedikit orang yang tertarik untuk membeli pakaian bekas. Terutama pakaian dengan brand ternama akan sangat diburu kaum muda. Sebagaimana pengakuan Ridho, salah satu mahasiswa yang mengaku sering membeli pakaian bekas. Menurutnya, baju-baju bekas yang dijual pedagang punya merek terkenal. Walaupun bekas, tapi masih layak untuk digunakan.
“Pertama karena barangnya merupakan brand ternama, biar bekas tapi masih layak dipakai, jadi dengan harga miring saya bisa menggunakan pakaian brandit,” tuturnya.
Hal yang sama diutarakan Hairul. Ia mengaku pakaian thrifting merupakan pakaian berkualitas terbaik. Walaupun bekas, pakaian itu bisa digunakan dalam jangka waktu lama, karena terbuat dari bahan berkualitas baik.
“Saya kebanyakan beli di pedagang thrifting karena yang dijual adalah merek ternama, bahannya juga bagus, jadi saya enggak mau beli baju bekas dari merek tidak terkenal, kalau seperti itu mending beli baju baru aja,” ucapnya.
Abrahan, salah satu penjual pakaian bekas, justru mengaku tidak tahu soal adanya larangan menjual pakaian bekas. Selama ini pria yang berdagang di Pasar Datah Manuah ini berjualan baju bekas yang didatangkan dari Banjarmasin.
“Tiap minggu saya ke Banjarmasin mas, biasanya banyak dijual di pasar subuh, dijual secara lapak, jadi saya pilih-pilih dan saya bawa ke Palangka Raya untuk dijual lagi,” ungkapnya, Selasa (21/3).
Ia mengaku tidak memiliki jejaring untuk mengambil barang impor tersebut. Ia hanya bisa membelinya dari Banjarmasin.
Selain itu, ia juga mengaku menjual pakaian hasil koleksinya yang memiliki brand terkenal, seperti Major League Baseball (MLB), Nike, Adidas, BAPE, dan beberapa merek ternama lain.
Pria asal Yogyakarta ini mengaku omzet yang didapatkan dalam sebulan tidaklah besar. Ia hanya mendatang untung 50 ribu rupiah per pakaian bekas yang dijual. “Tidak besar mas, tiap bajunya cuman 50 ribu aja saya ambil untung, jadi sehari itu kadang ada satu dua lembar baju atau celana yang terjual,” ucapnya.
Abrahan meminta win win solusion apabila ada tindakan dari pihak berwenang terkait larangan penjualan pakaian bekas. Solusi yang dimaksudnya berupa modal untuk berdagang agar bisa berjualan produk-produk legal.
“Kalau ada tindakan tegas, saya harap ada solusi yang diberikan, kan kami berdagang hanya untuk mencari makan, untungnya juga tidak besar, jadi bantuan seperti modal sangat perlu untuk kami membuka usaha penjualan produk legal,” tegasnya. (dan/irj/ce/ala/kpfm)