Ribuan Desa/Kelurahan Belum Bebas BAB Sembarangan

PALANGKA RAYA-Fenomena buang air besar sembarangan (BABS) masih menjadi persoalan yang marak terjadi di Kalteng. BABS disinyalir banyak dilakukan oleh warga masyarakat yang bermukim di daerah-daerah kumuh. Kebiasaan ini harus dihilangkan karena mengundang penularan berbagai macam penyakit.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalteng perihal persentase daerah bebas BABS se-Kalteng Tahun 2022, Murung Raya merupakan daerah dengan persentase bebas BABS terendah dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Hal ini diukur berdasarkan persentase desa atau kelurahan yang masyarakatnya masih dominan melakukan BABS.

Pada data tersebut, persentase bebas BABS di Murung Raya hanya sekitar 6,0 persen. Hal ini jauh di bawah Kotawaringin Barat (Kobar) yang persentase bebas BABS-nya berada pada angka 86,0 persen dan menempati urutan tertinggi bebas BABS se-Kalteng.  

Sementara untuk Kota Palangka Raya, persentase bebas BABS di Ibu Kota Provinsi Kalteng ini berada di angka 10,0 persen. Angka itu setara dengan Seruyan dan berada satu tingkat di atas Murung Raya.

Kepala Dinkes Provinsi Kalteng Suyuti Syamsul mengungkapkan, ada beberapa daerah di Kalteng yang masih belum bebas dari BABS. Ia menggarisbawahi bahwa fenomena BABS yang didata pihaknya itu bukan diukur berdasarkan kebiasaan perorangan atau keluarga, melainkan berdasarkan kondisi masyarakat per desa atau kelurahan.

“Salah satu indikator penilaian kami terkait BABS ini adalah di suatu keluarga tidak ada jamban keluarga atau umum, sehingga dapat menjadi indikasi kalau BAB masyarakat masih ada yang di luar rumah, seperti di kebun dan di pinggir sungai,” beber Suyuti kepada wartawan usai membuka kegiatan Pertemuan Koordinasi Germas Tingkat Provinsi Kalteng di Aula Bappedalitbang Provinsi Kalteng, Rabu (14/6).

Suyuti menjelaskan, pada dasarnya tidak menjadi masalah apabila ada masyarakat yang melakukan BAB di sungai sepanjang ada septic tank yang terhubung.

“Sepanjang BAB di sungai tapi terhubung dengan septic tank, tidak masalah. Tetapi yang menjadi masalah selama ini keluaran BAB itu tidak terhubung septic tank dan langsung lepas ke sungai,” tambahnya.

Menurut Suyuti, daerah desa atau kelurahan di Kalteng yang masih marak terjadi fenomena BABS umumnya adalah masyarakat yang tinggal di daerah permukiman pinggir sungai dan daerah rawa-rawa.

“Daerah-daerah yang berada di pinggir sungai atau rawa-rawa kemungkinan masih lazim terjadi fenomena BABS,” tambahnya.

Adapun dampak dari kebiasaan BABS, lanjut pria yang sudah malang-melintang di dunia kesehatan itu, adalah mudah menularnya berbagai bakteri penyebab penyakit.

“Kebiasaan BABS itu menyebabkan kotoran ke mana-mana, padahal ketika kita BAB, dalam proses itu keluar bakteri E-coli, bakteri salmonella, bakteri pseudomonas, kemudian ada bakteri yang menyebabkan orang sakit tipoid,” sebutnya.

BABS tidak hanya memudahkan menularnya penyakit bagi manusia, tapi juga mencemari lingkungan setempat. Dari tercemarnya lingkungan itulah yang kemudian dapat menciptakan penyakit di masyarakat.

“Ada yang BABS ke sungai, tapi di sebelahnya ada yang gosok gigi, dia tidak meminum air sungai secara langsung, tetapi itu bisa menyebabkan seseorang menjadi diare,” kata Suyuti seraya menyebut bahwa BABS dapat mencemari air tanah sehingga menimbulkan risiko penularan berbagai penyakit.

Dalam upaya mencegah dan menanggulangi BABS, Suyuti menyebut diperlukan adanya upaya untuk meningkatkan akses air bersih dan pembangunan jamban umum yang seusai standar, yakni terhubung dengan septic tank.

“Jamban umum itu bisa dibangun seperti yang ada di Barito Utara, terdapat teknologi tepat guna yang memungkinkan orang tetap BAB di lanting, tetapi terdapat septic tank yang dibikin melalui teknologi tepat guna,” tandasnya.

Sementara itu, Penanggung Jawab Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Provinsi Kalteng, Kartinus Aprianus menambahkan, persentase desa/kelurahan bebas BABS di Kalteng 2022 secara rata-rata adalah 31,41 persen. Adapun jumlah desa bebas BABS di Kalteng adalah 495 desa dari 1.574 desa/kelurahan di Kalteng, sedangkan masih ada ribuan desa/kelurahan belum bebas BABS.

“Ini termasuk dalam kategori masih rendah. Kenapa masih rendah? Karena di daerah kita ini mempunyai banyak daerah-daerah spesifik yang memungkinkan BABS itu masih terjadi, seperti di bantaran sungai dan rawa-rawa, itu yang menjadi pemicunya,” jelas Kartinus kepada Kalteng Pos, Senin (19/6).

Kartinus menyebut, wilayah dengan jumlah daerah paling rendah bebas BABS adalah Palangka Raya. Paling tinggi adalah Kotawaringin Barat (Kobar). Dilihat berdasarkan data di tahun 2022. Kobar memiliki jumlah desa bebas BABS sebanyak 81 desa, sementara Palangka Raya memiliki jumlah kelurahan bebas BABS sebanyak 3 kelurahan.

Tenaga Sanitasi Lingkungan dari Dinkes Provinsi Kalteng ini menjelaskan, desa atau kelurahan bebas BABS itu diukur berdasarkan jumlah Kartu Keluarga (KK) masyarakat yang dapat mengakses jamban layak, baik jamban per keluarga maupun komunal.

“Indikator desa dan kelurahan bebas BABS ini, semua KK dalam satu desa itu harus mempunyai akses sanitasi jamban yang layak. Jadi harus semua KK, harus 100 persen, nggak boleh satu KK pun yang belum,” jelas Kartinus seraya menyebut bahwa meskipun hanya terdapat satu KK yang belum bisa mengakses jamban layak, desa atau kelurahan tersebut masih belum bisa disebut bebas BABS.

“Makanya penilaian desa dan kelurahan bebas BABS ini berat sekali. Jamban yang dimaksud pun harus memenuhi standar kesehatan, yakni jamban yang terhubung dengan septic tank sehingga tidak mencemari lingkungan,” tambahnya. Ia menyebut, suatu desa/kelurahan dapat ditetapkan bebas ODF/BABS jika setiap KK pada tiap-tiap desa/kelurahan itu dapat mengakses jamban yang layak.

Martinus menjelaskan, desa/kelurahan yang belum bebas BABS di Kalteng kebanyakan adalah desa/kelurahan yang dominan memiliki aliran sungai. Menurut Martinus, hampir setiap desa di Kalteng memiliki sungai kecil yang dekat dengan permukiman warga. Hal inilah yang turut memicu masih banyaknya kasus BABS di Kalteng.

“Dari 1274 desa di Kalteng, 1000 lebih itu pasti ada bantaran sungainya. Tanpa ada perhatian dari pemerintah setempat atau pemangku kebijakan di daerahnya, program percepatan bebas BABS akan sulit dijalankan,” tambahnya.

Adapun terkait jumlah masyarakat yang BABS di kebun, lanjut Martinus, sekarang ini di Kalteng sudah jarang sekali. Sejauh ini wilayah desa dan kelurahan pinggir sungai lah yang kasus BABS-nya mendominasi.

“Kalau waktu awal-awal dulu masih ada, tapi seiring dengan masifnya teman-teman kami di kabupaten dan kota memicu masyarakat untuk tidak BABS, maka semakin tahun semakin berkurang,” tandasnya. (dan/ala/kpfm)

189 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.