Warga Banding ke PTTUN dan Surati Presiden

Sengketa Tanah Antara Hj Musrifah dan 12 Warga Jalan Hiu Putih VIII A  

PALANGKA RAYA-Setelah kalah dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya terkait kasus kepemilikan tanah, 12 warga Jalan Hiu Putih VIII A, Kelurahan Bukit Tunggal langsung bereaksi. Mereka memastikan akan menempuh upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Banjarmasin, serya menyurati Presiden RI Joko Widodo.

Upaya banding dilakukan oleh 12 warga itu karena menilai persidangan di PTUN palangka Raya janggal. Hal itu diungkapkan salah satu warga yang tanahnya diklaim, Antonio De Araujo. Menurut keterangan Antonio, pihaknya telah memberikan kuasa penuh ke kuasa hukum untuk menangani permasalahan ini. Pihaknya meyakini tanah yang mereka tempati saat ini tidak masuk dalam objek sengketa.

“Saya tidak menyalahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), karena objek yang diterbitkan BPN jelas, karena objek tanah milik Hj Musrifah ada di Hiu Putih VIII menuju kompleks kehutanan, Hiu Putih ke atas, bukan Hiu Putih ke bawah,” tutur Antonio kepada Kalteng Pos saat ditemui di Jalan Hiu Putih Induk, Kamis (13/7).

Menurutnya, objek tanah yang digugat Hj Musrifah tidak berada dalam objek tanah yang sesuai dengan peta koordinat dalam sertifikat tanah milik Hj Musrifah.

“Objek tanah yang digugat Hj Musrifah tidak berada dalam objek tanah milik dia, bukan di atas tanah milik warga, karena dalam sertifikat tanah miliknya itu, objek tanah berada di Jalan Hiu Putih VIII ke atas, bukan ke arah bawah, artinya bukan tempat kami,” ungkap pria yang mengaku telah membeli tanah itu sejak tahun 2015 dengan status SPPT.

Menurut Antonio, seharusnya Hj Musrifah menggugat tanah di lokasi lain, yakni di Jalan Hiu Putih VIII menuju kompleks kehutanan. “Kalau sesuai gambar peta tanah yang dimiliki Hj Musrifah, objek tanahnya bukan di sini, bukan di tempat kami,” tegasnya.

Anton menyebut sudah mengajukan penerbitan sertifikat tanah di atas objek tanah miliknya yang kini masih berstatus SPPT. Sejauh ini masih berproses karena pihak BPN mengatakan objek tanah miliknya itu tumpang-tindih.

“Tetapi kalau melihat dari sistem online pusat, saya pernah membawa orang BPN pusat, mereka mengatakan kalau tanah saya ini tidak ada tumpang tindih, di atasnya tidak ada sertifikat, makanya saya berani bangun kos-kosan,” ungkapnya.

Antonio menyebut pihaknya tidak hanya berencana melayangkan banding ke PTTUN, tetapi juga akan bersurat ke Presiden RI Joko Widodo terkait penyelenggaraan persidangan yang disinyalir tidak adil.

“Putusan majelis hakim PTUN tanpa mengecek koordinat lokasi tanah yang tepat, seharusnya dipertimbangkan juga. Karena itu kami akan mengirim surat ke Presiden,” tandasnya.

Di tempat yang sama, warga yang tanahnya juga bersengketa, Sardi Efendi menambahkan, pada intinya ke depan pihaknya akan mengajukan banding. Sebelum itu mereka akan berembuk untuk menyatakan sikap.

“Yang pasti kami tidak terima dengan keputusan itu. Tentunya kami dari sisi warga, tidak hanya yang mengantongi 12 sertifikat itu, tetapi juga total enam hektare yang digugat, akan berkumpul dan menyatakan sikap,” tutur pria yang mengaku sudah memiliki SHM atas tanah yang disengketakan itu sejak 2014 lalu.

Sardi menyebut pihaknya akan mengajukan banding atas perkara ini. Selain itu, dalam jangka waktu tiga hari ke depan pihaknya akan berjumpa dengan sejumlah media di Kalteng untuk menyampaikan secara terbuka persoalan pertanahan ini.

“Kami akan kumpul dan mengambil sikap. Dalam tiga hari ke depan, kami akan menyampaikan secara terbuka kepada media yang ada di Kalteng terkait persoalan ini, agar semua orang bisa tahu,” tandasnya.

Dihubungi terpisah, kuasa hukum Hj Musrifah, Abdul Siddiq mengatakan, terkait dengan upaya hukum, setiap warga negara dapat menggunakan hak untuk melakukan upaya hukum apa pun.

“Dari pihak kami hanya mau menyampaikan bahwa semua bukti-bukti surat sudah dilampirkan oleh pihak BPN saat persidangan di PTUN Palangka Raya, khususnya warkah sertifikat Ibu Hj Musrifah,” ungkapnya kepada Kalteng Pos, Kamis (13/7).

Siddiq menambahkan, semua pihak berhak melihat tanpa halangan. Semuanya transparan karena persidangan dilaksanakan terbuka untuk umum. Namun dirinya sangat menyayangkan adanya tuduhan-tuduhan yang disampaikan masyarakat di media terkait pembuktian.

“Karena semua pihak memiliki hak yang sama untuk melihat seluruh bukti yang sudah disampaikan. PTUN merupakan pengadilan yang berkaitan dengan administrasi, bukan kepemilikan tanah, sehingga tidak memerlukan sidang lapangan,” tutur Siddiq.

“Pembuktian yang diperlukan adalah apakah penerbitan objek sengketa sudah sesuai administrasi atau cacat administrasi,” tandasnya. (dan/ce/ala/kpfm)

221 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.