
JawaPos.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menduga, PT. Bhanda Ghara Reksa (BGR) sebagai salah satu penyedia penayaluran bantuan sosial (bansos) beras untuk keluarga penerima manfaat (KPM) program keluarga harapan (PKH) tahun 2020-2021 di Kementerian Sosial (Kemensos) melakukan permainan subkon fiktif. Kasus ini mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 127 miliar.
Perkara ini telah menjerat enam pihak sebagai tersangka. Mereka yakni Direktur Utama (Dirut) PT Transjakarta yang juga eks Dirut Bhanda Ghara Reksa (BGR) Persero periode 2018-2021 M. Kuncoro Wibowo; Direktur Komersial PT BGR periode 2018-2021 Budi Susanto; Vice President Operasional PT BGR periode 2018-2021 April Churniawan.
Kemudian Direktur Utama Mitra Energi Persada (MEP) sekaligus Ketua Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada (PTP) Ivo Wongkaren; Tim Penasihat PT PTP Roni Ramdani; dan General Manajer PT PTP sekaligus Direktur PT Envio Global Persada (EGP) Richard Cahyanto.
“Kami melihat bahwa dari nilai kontrak yang sebesar Rp 326 miliar, ternyata tidak seluruhnya digunakan untuk biaya penyaluran. Apalagi, kemudian PT BGR itu menggandeng perusahaan lain yang bertindak seolah-olah sebagai perusahaan pendamping atau konsultan,” kata Alex di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (23/8) malam.
Padahal PT. BGR yang ditunjuk Kemensos sebagai distributor bansos beras dalam pekerjaan penyaluran bansos beras untuk KPM PKH pada penanganan dampak Covid-19 dikontrak senilai Rp 326 miliar. Namun, itu tidak terealisasi dengan baik.
Hal ini terlihat dari pembayaran yang dilakukan PT. BGR kepada PT. Primalayan Teknologi Persada (PTP) pada periode September-Desember 2020 senilai Rp 151 miliar. Bahkan, penyusunan kontrak konsultan pendamping antara PT BGR dengan PT PTP tidak dilakukan kajian dan perhitungan yang jelas.
Namun, dari pembayaran Rp 151 miliar terdapat penarikan uang sebesar Rp 125 miliar dari rekening PT. PTP. Tetapi penggunaannya tidak sama sekali untuk penyaluran distribusi bansos beras.
“Kalau boleh saya samakan BUMN karya itu dengan menggunakan subkon fiktif, seolah-olah ada pekerjaan yang disubkon tetapi ternyata tidak ada pekerjaan yang dikerjakan oleh perushaaan subkontraktor itu,” ungkap Alex.
Pimpinan KPK dua periode ini menduga, penggunaan perusahaan fiktif ini banyak dilakukan untuk mengeluarkan uang. Padahal, seharusnya tidak dikeluarkan, mengingat tidak sesuai aturan. “Karena memang tidak ada prestasi sama sekali,” pungkas Alex. (jpc/kpfm)