Selamat Hari Aksara Internasional

Kemampuan literasi mutlak diperlukan dalam upaya mewujudkan masyarakat cerdas. Palangka Raya merupakan salah satu kota di Kalteng dengan tingkat literasi tinggi. Hal ini dapat diketahui dari angka melek huruf masyarakat yang menyentuh 100 persen. Capaian itu tak lepas dari peran guru di sekolah dan orang tua di rumah yang berusaha menciptakan anak-anak yang literat alias melek huruf.
AKHMAD DHANI, MUTHOH, DHEA-Palangka Raya
MAMPU membaca dan memahami dengan baik hal-hal yang dibaca merupakan pengertian lazim dari literasi. Dalam usaha mewujudkan generasi literat, sekolah dan orang tua diminta agar tidak latah memaksa anak-anaknya cepat bisa membaca. Harus disesuaikan dengan tumbuh kembang dan kemampuan anak dalam belajar. Hal itu demi menjalankan proses belajar yang bersahabat bagi tumbuh kembang psikologis anak. Kesadaran demikian disebut lebih mampu menciptakan anak-anak menjadi individu pembelajar sepanjang hayat.
Hari Aksara Internasional diperingati tiap tanggal 8 September. Momen ini merupakan pengingat akan pentingnya melek huruf bagi tiap individu, komunitas, maupun masyarakat. Segenap pihak diajak berkaca akan kondisi literasi tiap individu dalam lingkungan masyarakatnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Palangka Raya Jayani mengungkapkan angka melek huruf masyarakat Kota Palangka Raya berdasarkan data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
“Tingkat literasi sudah mencapai 100 persen. Ini mencerminkan kemampuan kita dalam menangani learning loss yang sempat melanda anak-anak sewaktu pandemi kemarin,” ujar Jayani kepada Kalteng Pos, Kamis (7/9).
Kendati demikian, Jayani tidak menampik bahwa anak-anak sekolah dasar (SD) kelas tinggi di Kota Palangka Raya pernah mengalami kondisi tidak bisa membaca sebagai imbas dari pandemi Covid-19. Hal ini umum disebut sebagai learning loss.
“Imbas dari kondisi itu (pandemi, red), tak sedikit anak yang keterampilan calistung (membaca, menulis dan berhitung) terganggu,” ungkapnya.
Kilas balik, dalam upaya menanggulangi fenomena learning loss itu, Disdik Kota membentuk klinik literasi di sejumlah sekolah. Upaya itu cukup berhasil dalam mengentaskan anak-anak dari jurang learning loss.
Jayani menyebut, sampai saat ini program klinik literasi masih terus berjalan sesuai dengan fungsinya untuk membantu anak-anak yang mengalami masalah dalam mengasah kemampuan literasi.
“Klinik literasi masih terus berjalan, berperan untuk mengatasi anak kesulitan membaca, tidak suka membaca, dan susah memahami suatu tulisan dan kalimat,” tuturnya.
Sejauh ini ada lima sekolah yang memiliki layanan klinik literasi. Tiga di antaranya, lanjut Jayani, adalah SDN Percobaan, SDN 4 Menteng, dan SDN 11 Langkai. Ke depan, lanjutnya, pihaknya berencana mengembangkan klinik literasi di tiap sekolah yang ada di Palangka Raya.
“Klinik literasi akan kami kembangkan lagi di sekolah-sekolah lain, terutama di sekolah dasar. Namun kami harus lebih dahulu memikirkan sarana prasarana (sarpras) serta guru-guru yang bersedia melayani. Nanti akan ada diskusi dengan orang tua/wali,” terangnya.
Kini untuk bisa masuk ke jenjang SD, anak-anak tidak lagi diwajibkan bisa membaca, menulis, dan berhitung. Jayani menyebut, aturan tersebut ditetapkan berdasarkan pertimbangan perkembangan otak anak dan kemampuan menerima pelajaran sesuai dengan tumbuh kembang masing-masing.
“Melewati berbagai penelitian dan mempertimbangkan pendapat ahli, apabila anak-anak dipaksakan untuk bisa lekas membaca di kelas satu atau kelas dua, akan ada efek tertentu terhadap pembelajaran,” jelasnya.
Efek yang dimaksud, sambung Jayani, yakni menurunkan ketertarikan anak terhadap suatu pelajaran. Sebab, ketika sudah berada di bangku kelas empat atau lima, anak-anak mengalami titik jenuh dalam belajar.
“Saat sampai titik jenuh itulah mereka (anak-anak, red) jadi tidak tertarik lagi terhadap bahan-bahan bacaan,” terangnya.
Jayani menyebut, tidak ada patokan pasti anak-anak di jenjang SD diwajibkan bisa membaca di kelas-kelas tertentu. Menurut Jayani, anak-anak yang duduk di kelas satu tidak diwajibkan bisa membaca. Idealnya anak-anak di kelas tersebut masih dalam tahap pengenalan lingkungan sekolah.
“Di kelas tiga barulah anak-anak diperkenalkan dengan huruf, di kelas itu anak-anak diharapkan bisa merangkai kata dan bisa membaca,” ucapnya.
Kalaupun masih belum mampu membaca saat duduk di kelas tiga, dianggap hal wajar, karena menyesuaikan dengan kemampuan belajar si anak.
“Problemnya, di tingkat Taman Kanak-kanak (TK), anak-anak justru dipaksakan untuk bisa membaca. Parahnya lagi, TK itu dianggap bagus,” ucapnya.
Menurut Jayani, jika anak-anak yang masih sangat kecil dipaksa untuk bisa membaca, maka akan berpengaruh terhadap minat belajar anak ke depan. “Makanya dalam proses belajar saat masih kecil, anak-anak harus mengalami transisi belajar yang menyenangkan. TK itu hanya tempat bermain, belum saatnya anak belajar membaca. Nantilah di kelas dua mulai pengenalan huruf, lalu di kelas tiga belajar merangkai kata,” tandasnya.
Terpisah, Kepala Sekolah Dasar (SD) Percobaan Kota Palangka Raya Mulyati mengatakan, klinik literasi sebagai salah satu upaya untuk menerapkan pembelajaran berdeferensiasi menyesuaikan kebutuhan anak-anak.
Klinik literasi, menurutnya, juga mengupayakan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, mengantarkan anak untuk bisa baca tulis. Juga menerapkan pembelajaran berdeferensiasi. Sehingga ketika anak memang belum siap untuk diberi bahan bacaan, maka terlebih dahulu ada asesmen.
“Bagaimana kesiapan pembelajaran dan bagaimana kematangan peserta didiknya,” ujarnya.
“Bukan berarti anak yang tidak bisa baca itu tidak naik kelas, tetapi ada tahapannya, karena tiap anak berbeda,” tambahnya. Ada yang tahapan kesiapan belajarnya sesuai dengan kompetensi, ada pula yang masih perlu dampingan.
“Apa pun itu dan sampai sejauh mana akan kami dampingi. Kami upayakan supaya ada progres perubahan selama diberi pendampingan,” tuturnya.
Di tempat yang sama, penanggung jawab klinik literasi, Maria Katherine menyampaikan bahwa klinik literasi dikhususkan untuk murid kelas rendah. “Mulai dari kelas satu sampai kelas tiga,” ungkapnya.
Sistemnya per kelas, karena memang dikhususkan bagi anak-anak yang belum lancar membaca. “Sekarang klinik literasi dipegang oleh wali kelas masing-masing untuk mendampingi,” sebutnya.
Kepercayaan diberikan kepada wali kelas masing-masing karena merekalah yang tahu dan memahami kondisi anak didik. “Jadi akan lebih efektif jika ditangani langsung oleh wali kelas, karena dalam satu kelas tidak sampai 10 murid. Yang paling banyak itu dari kelas 1, itu pun paling banyak lima murid,” bebernya.
Menurutnya, pendampingan harus diberikan secara berkelanjutan hingga anak didik yang didampingi benar-benar bisa berhitung, mengenal huruf, dan membaca. “Tidak bisa dipastikan berapa lama (pendampingan, red), karena tergantung kemampuan tiap anak,” jelasnya. Bagi anak didik yang sudah mahir, dipersilakan untuk tidak lagi bergabung dengan klinik literasi, sehingga wali kelas bisa fokus kepada yang masih memerlukan pendampingan.
Sementara itu, Kepala SDN 9 Menteng Tersiani menyebut pihaknya menjalankan program Kipers sejak awal dibukanya klinik literasi hingga saat ini. Kipers merupakan bimbingan tambahan untuk membantu murid yang mengalami kesulitan membaca.
“Klinik literasi masih berjalan, dibuka sekitar November 2022 lalu. Kami berharap anak-anak yang kesulitan membaca lebih cepat bisa membaca dengan adanya bimbingan dalam klinik literasi. Namun seberapa banyak waktu yang dibutuhkan, tergantung pada kemampuan anak didik, karena tiap anak berbeda-beda daya tangkapnya. Kami tidak bisa memaksa atau menekan mereka. Klinik literasi biasanya dibuka ketika jam istirahat atau setelah sekolah, tentunya di luar jam pelajaran,” ungkapnya. (*/ce/ala/kpfm)