Kisah Khairul Atqia Menjadi Penghulu Pernikahan

Tidak banyak yang tertarik menekuni profesi sebagai penghulu pernikahan. Regenerasi profesi penghulu tidak maksimal. Alhasil Indonesia kekurangan penghulu, termasuk Kalteng. Kondisi itu menyebabkan penghulu supersibuk. Akhir pekan pun tetap bertugas melayani yang akan menikah. Liku-liku menjadi seorang penghulu dikisahkan Khairul Atqia SHi.
NOVIA NADYA CLAUDIA, Palangka Raya
SOSOK Khairul Atqia sudah sangat familiar di Kota Palangka Raya. Sebelum menjadi penghulu di KantorUrusan Agama (KUA) Kecamatan Pahandut, ia pernah menjadi staf di KUA Kecamatan Bukit Batu dan Sebangau. Kemudian di tempat tugasnya sekarang, ia mengawalinya sebagai operator pencetak buku nikah.
Suasana menikahkan pasangan sejatinya bukan hal yang baru bagi Khairul Atqia. Semenjak menjadi seorang staf di KUA kecamatan, ia sudah sering menyaksikan. Sehingga ketika benar-benar menjadi seorang penghulu, bisa dijalaninya dengan baik. Dikatakan Khairul, selain menikahkan pasangan, banyak hal lain yang dilakukan sebagai penghulu.
Penghulu, kata Khairul, memiliki tugas pokok untuk melakukan perencanaan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah atau rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah atau rujuk, penasihat dan konsultasi nikah atau rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah atau rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan.
Meski sudah sering mendampingi saat menjadi staf, tetapi pengalaman pertama menikahkan pasangan, jelas dirasa ada perbedaan. Karena ia harus memimpin, sehingga ia menggunakan catatan untuk mengetahui step by step nya.
“Saat jadi staf sudah sering liat penghulu menikahkan orang. Saya belajar, melihat, dan mendampingi juga, sehingga ketika jadi penghulu, sudah bisa. Awal-awal saya minta di kantor saja, tidak ingin di luar. Setelah beberapa kali menikahkan di kantor, barulah menikahkan di luar,” ucap Khairul Atqia saat ditemui di KUA Kecamatan Pahandut, Senin (25/9).
Momen haru sudah sering ia jumpai ketika menikahkan pasangan. Mulai dari seorang pengantin yang terharu saat meminta izin dan restu kepada orang tua hingga menangis bahagia saat ijab qobul telah dinyatakan secara sah oleh saksi-saksi. Suasana itu tentu membuat dirinya ikut terenyuh. Ketika dua insan disatukan dalam ikatan pernikahan, dengan harapan dapat menjadi pasangan yang sakinah, mawadah, dan warohmah.
Selain cerita kebahagian keluarga dan pasangan yang menikah, ada juga kisah yang membuat hatinya terenyuh. Suatu ketika, di daerah Bereng Bengkel, musibah menimpa calon pengantin pria dan wanita seminggu sebelum akad nikah. Saat itu calon pengantin wanita mengantarkan undangan ke keluarga dan kerabat. Namun terjadi kecelakaan hingga membuat kakinya patah. Sedangkan di hari yang berbeda, orang tua calon pengantin pria meninggal dunia sehari sebelum mereka melangsungkan pernikahan.
“Situasi pada saat itu menjadi pengingat bersama, apabila takdir telah berkata, manusia hanya bisa menerima dan terus berjalan ke depan sesuai rencana yang telah dibuat. Namun bersyukur, akad nikah tetap dilangsungkan, meski dalam suasana berkabung,” kata anak ketujuh dari sepuluh bersaudara itu.
Pengalaman tersebut mengingatkan Khairul saat ia kehilangan ayahanda tercinta. Kala itu ia sedang mondok di Negeri Jiran, Malaysia. Tidak ada satu pun keluarga yang memberitahunya. Setelah 100 hari berlalu, barulah ia mengetahui kabar duka itu, kala bersilaturahmi pada momen hari raya ke rumah saudara di Johor, Malaysia.
“Bayangkan, saya tahu kabar itu secara tidak sengaja, apalagi saat itu hari raya. Namun saya berusaha menguatkan hati, saya yakinkan diri untuk tidak pulang. Saya harus selesaikan kewajiban saya dahulu. Karena harapan orang tua, ketika saya pulang bisa mengembangkan pondok,” ujarnya.
Berkat keyakinan dan kekuatan hatinya, pria kelahiran Kota Baru, 28 Agustus 1982 itu bertekad untuk melanjutkan Pondok Pesantren MA Hidayatul Insan bersama kesembilan saudaranya yang lain. Selama 11 tahun ia mengabdi menjadi guru sekaligus sebagai pimpinan tahfiz.
Siapa sangka, kala itu perjalanannya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) hanya bermodalkan izasah SMA. Semenjak itulah, ia akhirnya bertekad melanjutkan pendidikan S-1 hingga menyelesaikan studi S-2 di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya. Bahkan, sang istri pun hingga saat ini menjadi guru bahasa Inggris dan pengajar tahfiz bagi santriwati di Pondok Pesantren Hidayatul Insan.
Meski telah sekian lama menjadi tenaga pengajar, tidak serta merta membuat pria berumur 41 tahun itu berhenti mengabdi bagi masyarakat. Ia memutuskan untuk menjadi penghulu dan bertugas sebagai operator pencetak buku nikah di KUA Kecamatan Pahandut.
“Sebelumnya 11 tahun mengajar, lalu ingin merasakan bekerja di luar sekolah untuk mengabdi kepada masyarakat. Setelah jadi staf selam dua tahun, kemudian menjadi penghulu awal Januari 2022,” ucap ayah dari tiga anak itu.
Bukan hanya menikahkan pasangan, tugas dan tanggung jawab penghulu juga memberikan nasihat atau konsultasi bagi pasangan yang akan menikah, talak, cerai, ataupun rujuk. Juga memberikan tausiah saat akad nikah. Untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya, di saat pegawai yang lain rehat sejenak dari hiruk pikuk pekerjaan di kantor pada hari Sabtu dan Minggu, Khairul bersama rekan-rekan penghulu lainnya justru mendatangi tempat-tempat yang membutuhkan jasa mereka. Bahkan di saat-saat tertentu, ketika ada banyak pasangan yang akan dinikahkan, ia berbagi tugas bersama dua rekan penghulu.
“Dikejar dengan waktu, memikirkan calon pengantin yang sudah menunggu, tentu membuat rasa lelah jadi sirna. Semua itu terbayarkan saat pecahnya tangis haru dari keluarga dan pengantin baru. Bahagia rasanya bisa menyaksikan dan turut menjadi bagian untuk menyatukan dua insan,” tutupnya. (*/ce/ala/kpfm)