Desak Pemerintah Hentikan Proyek Lumbung Pangan

Pegiat Lingkungan Sebut Food Estate Gumas Gagal

KRITISI MELALUI PARODI: Sekelompok aktivis pegiat lingkungan melakukan parodi makan siang di lokasi food estate singkong di Gunung Mas, Sabtu (2/12). Foto: GREENPEACE UNTUK KALTENG POS

KUALA KURUN-Megaproyek lumbung pangan atau food estate singkong di Kabupaten Gunung Mas (Gumas) menjadi sorotan. Para pegiat lingkungan mendesak pemerintah untuk segera menghentikan proyak ketahanan pangan garapan Kementerian Pertahanan (Kementan) RI ini. Pegiat lingkungan yang tergabung di Grennpeace, LBH Kalteng, Save Our Borneo dan Walhi menilai proyek lumbung pangan ini justru memperparah krisis pangan dan iklim.

Desakan para pegiat atau aktivis lingkungan untuk menghentikan proyek tersebut disampaikan melalui parodi makan siang di lokasi food estate. Pemeran dalam parodi tersebut mengenakan baju batik sembari memakai topeng presiden dan tiga calon presiden (capres) yang akan bertarung di Pilpres 2024 mendatang. Selain itu mereka juga membentangkan spanduk berukuran 30×15 meter bertuliskan Food Estate Feeding Climate Crisis! di lahan food estate.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyebutkan aksi ini merupakan aksi kedua kalinya. Ia menyebut proyek food estate adalah kegagalan era pemerintaha sekarang, khususnya dalam menjaga komitmen iklim.

“Ini harus dikoreksi oleh pemerintahan mendatang. Para capres-cawapres yang berlaga di Pilpres 2024 tak boleh memalingkan muka dari situasi ini. Food estate sudah gagal dan harus dihentikan,” ujar Arie Rompas, Sabtu (2/12).

“Pada moment ini juga kami syuting parodi para pemimpin yang sedang bersantap di meja makan dengan ngobrol perkara isu food estate. Hal ini menunjukkan bahwa kenyataan hanya sebuah basa basi yang tidak ada tindakan nyata dari mereka,” tambahnya Arie Rompas.

Arie Rompah menjelaskan bahwa di lahan kurang lebih 600 hektare (Ha) ini seharusnya dijalankan dengan kredibel. Dimana harus membangun Amdal, lalu memperhatikan kondisi tanah, memperhatikan hal masyarakat adat, serta mengkaji bagaimana dampaknya terhadap lingkungan.

“Namun sudah kita lihat sampai sekarang belum ada yang tertanam. Dan lagi kita lihat sekarang di gerbang masuk kawasan food estate, ada upaya untuk menggantikan komoditi singkong ke jagung,” tegasnya Arie.

Dalam penanam jangung itu, menurut tidak ada bedanya dengan sebelumnya. Dimana prosesnya tanah-tanah dari luar dibawa ke kawasan tersebut. Hal ini disebut Arie sebagai bentuk kamuflase, agar food estate di lahan tersebut bisa dianggap berhasil.

Ia menyebutkan bahwa jagung yang ditanam mengalami intervensi. Yang mana jagung tersebut tumbuh harus menggunakan polybag terlebih dahulu.

Maka dari itu ia berharap kepada pemimpin dunia dan Indonesia untuk memperhatikan kondisi saat ini. Dimana adanya kondisi krisis iklim dan krisis pangan.

“Bagi pemerintah Indonesia kami harap ini bisa dihentikan dan dievaluasi proyek foof estate. Selain ia juga meminta untuk mengevaluasi terkait izin-izin. Bisa kita lihat banyak proyek food estate yang gagal dan telah mengorbankan dengan merusak hutan,” tegas Arie Rompas.

Selain di Gunung Mas, proyek food estate pemerintah juga merambah wilayah gambut di bekas lahan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau yang sebelumnya sudah gagal.

“Menurut pantauan kami, proyek ini justru memperparah kerusakan gambut hingga memicu kebakaran pada September sampai Oktober 2023. Pemerintah harus menghentikan food estate karena sistem pangan monokultur skala besar seperti ini merupakan solusi palsu untuk cita-cita ketahanan pangan,” tambah  Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng

Walhi mendesak pemerintah harus melakukan evaluasi pelaksanaan proyek food estate secara menyeluruh karena ada potensi kerugian negara dari penggunaan APBN dalam menjalankan proyek ini.

“Yang paling penting, dalam waktu cepat pemerintah juga harus memulihkan hutan dan lahan gambut yang rusak di area tersebut,” tegasnya.

Selain itu, juga ia menambahkan proyek ini hanya mengulang kegagalan. Sebelumnya proyek  serupa pernah dilaksanakan dengan hasil yang gagal karena banyak faktor. Salah satunya proyek ini dijalankan di atas ekosistem gambut dan hutan.  Ia juga menjelaskan, bahwa selama ini Walhi melakukan monitoring secara reguler. Dimana mereka menemukan pelaksanaan food estate tidak menjalan prinsip-prinsip yang seharusnya dijalankan. Selain itu menyebutkan akses masyarakat turut dibatasi. Sehingga hanya segelintir masyarakat yang tau terhadap proyek tersebut.

“Jadi kami menyerukan proyek yang telah dijalankan ini untuk dihentikan atas proyek food estate ini. Lalu kedua dievaluasi ini dimana kita memperhatikan banyak sektor-sektor yang terdampak atas proyek ini. Ada kerugian negara dalam program ini dimana APBN yang digunakan cukuplah besar. Selain itu kerugian bisa dilihat bagaimana pemanfaatan kawasan hutan yang perlu dilakukan segera pemulihan kawasan hutan yang biasa disebut dengan reboisasi. Selain secara ekosistem hak-hak masyarakat juga harus dipulihkan,” tegas Bayu.

Solusi untuk ketahanan pangan sejatinya terletak pada kearifan lokal masyarakat adat lewat pertanian ekologis dan agroforestri tradisional, seperti yang sudah dipraktikkan masyarakat adat Dayak di Kalimantan selama ribuan tahun.

“Proyek food estate, baik food estate singkong di Gunung Mas maupun food estate padi di Kapuas dan Pulang Pisau, dirancang dan dilaksanakan tanpa melibatkan masyarakat. Di Gunung Mas, Kementerian Pertahanan mengerahkan tentara dan pekerja dari luar daerah. Sedangkan food estate padi yang digarap Kementan menerapkan model yang meminggirkan konsep pertanian masyarakat di lapangan. Dalam konteks ketahanan pangan, sistem pertanian monokultur ini justru menimbulkan kerentanan karena pelaksanaannya terpusat di satu tempat, tidak tersebar ke tengah-tengah masyarakat,” kata Muhamad Habibi, Direktur Eksekutif Save Our Borneo.

Direktur LBH Palangkaraya, Aryo Nugroho mengimbuhkan, proyek food estate bukan hanya tak sejalan dengan upaya pemenuhan hak atas pangan dan hak atas lingkungan yang sehat untuk masyarakat hari ini, tapi juga mengabaikan hak-hak generasi mendatang.

“Pemerintah tidak memikirkan hak-hak generasi mendatang yang akan paling terdampak oleh kerusakan lingkungan akibat proyek-proyek bermasalah seperti food estate ini. Apakah kita hanya akan mewariskan kerusakan untuk generasi mendatang? Food estate juga makin meminggirkan budaya perladangan masyarakat adat Dayak. Ini bisa disebut genosida atas budaya masyarakat adat,” pungkasnya. (irj/ala/kpfm)

621 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.