PALANGKA RAYA – Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Bareskrim Mabes Polri mengusut kasus illegal logging yang terjadi di Desa Tumbang Baloi, Kabupaten Murung Raya (Mura), kayu hasil kegiatan ilegal itu kemudian dijual ke Lamongan. Kasus ini pun mendapat sorotan dari peggiat lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng. Pihaknya meminta agar kasus ini diusut lebih dalam sehingga dapat membongkar aktor-aktor lain yang terlibat.
Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng, Janang Firman berpendapat, jika modus terjadinya pembalakan kayu secara Ilegal ini karena ada upaya pemenuhan target produksi, upaya untuk memenuhi tersebut dilakukan dengan melakukan penebangan di luar konsesi, serta adanya pemalsuan beberapa dokumen, maka penting kemudian untuk bisa melihat posisi kasus ini lebih dalam.
“Bilamana target produksi menjadi salah satu modus, seharusnya selain memperdalam kasus yang dilakukan oleh oknum tersebut juga perlu mengevaluasi izin produksi perusahaan yang ada,” ungkap Janang Firman kepada Kalteng Pos, Minggu (18/2).
Menurut Janang, jangan sampai target produksi yang tidak ditunjang dengan ketersediaan kayu akan menimbulkan dampak besar pada lahan di luar konsesi. Selain itu, jika area pada konsesi perusahaan sudah tidak mampu memenuhi target, penting kemudian untuk dipertimbangkan posisi aktivitas perusahaan tersebut apakah bisa tetap dilanjutkan perizinannya atau tidak.
“Seharusnya kepolisian bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam upaya tindak lanjut kasus ini,” ujarnya. Selain itu, berbicara adanya pemalsuan dokumen, Janang menekankan perlunya ditelaah kembali lebih dalam keterlibatan berbagai aktor. “Jangan sampai hanya beberapa korban saja,” tambahnya.
Kasus ini sedikit banyak berkontribusi bagi deforestasi yang terjadi di Kalteng, khususnya di Kabupaten Mura. Terkait laju deforestasi di Mura, Janang menyebut setiap tahunnya cukup mengalami peningkatan. Maka dari itu, dampak pada kerusakan lingkungan hidup juga tinggi yang hingga saat ini berdampak pada perubahan bentang alam serta bencana ekologis di wilayah setempat.
Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan oleh Walhi Kalteng menggunakan data tutupan lahan tahun 2022. Diketahui bahwa adanya tutupan lahan perkebunan seluas 121.555 hektare (ha), pertambangan seluas 23.045 ha, dan hutan tanaman seluas 53.834 ha pada wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito.
“Berdasarkan luasan penggunaan ruang ini bisa jadi pertimbangan evaluasi izin perusahaan tadi. Sudah seharusnya didorong adanya kebijakan yang kemudian memitigasi kerusakan hutan dan lahan yang semakin tahun semakin meluas,” jelasnya.
Maka dari itu, Janang menambahkan, sebagai rekomendasi agar kasus ini diperdalam dan dikembangkan lagi, Polri mesti bekerjasama dengan pemerintah daerah dan KLHK, sehingga kasus seperti ini tidak berulang dan laju deforestasi di wilayah DAS Barito bisa segera dilakukan restorasi lahan dan hutan.
“Kita sudah krisis daya tampung dan daya dukung lingkungan. Ini adalah faktor yang menjadikan Kabupaten Mura, salah satunya di DAS Barito, yang sejak 2019 hingga 2023 ini sering terjadi bencana ekologis,” tuturnya. (dan/ala/kpfm)