
JawaPos.com – Ramainya kasus toilet gender netral di salah satu sekolah internasional di Jakarta telah memicu keprihatinan banyak kalangan. Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pun diminta bergerak cepat memeriksa semua sekolah internasional yang ada di Indonesia.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengatakan, sebagai sebuah bangsa Indonesia telah tegas jika Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) merupakan bentuk penyimpangan yang harus dicegah.
“Adanya toilet dengan gender netral di sebuah lembaga pendidikan menjadi indikator bahwa kampanye LGBT telah masuk ke sekolah di tanah air. Kami berharap Kemendikbud Ristek bergerak cepat,” kata Huda di Jakarta, Kamis (10/8).
Huda mengatakan, kampanye LGBT saat ini begitu marak. Mereka menggunakan berbagai media untuk menyuarakan kebebasan bagi pelakunya mulai dari film, musik, hingga wacana dan diskursus pelajaran di sekolah-sekolah.
“Dengan dalih hak asasi manusia mereka secara agresif mengkampanyekan kebebasan perilaku menyimpang yang jelas bertentangan dengan keyakinan dan budaya kita,” ucap Huda.
Meskipun di banyak negara LGBT mendapat tantangan, kata Huda, para aktivis gerakan ini tak kunjung surut. Dia mengingatkan rencana pertemuan komunitas LGBT Asean dalam ajang ASEAN Queer Advocay Week (AQAW) di Jakarta beberapa waktu lalu.
“Adanya rencana AQAW di Jakarta menunjukkan jika gerakan mendukung komunitas LGBT di Indonesia tetap berlangsung,” ujarnya.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menilai, adanya sekolah yang menyediakan toilet gender netral menunjukkan jika ada pengelola yang memandang LGBT merupakan suatu kewajaran.
Situasi ini, menurut Huda, meresahkan karena secara tidak langsung mengenalkan kepada peserta didik jika wajar saja ketika memilih menjadi bagian dari LGBT.
“Kami mendapat informasi jika Kemendikbud dan Disdik Provinsi Jakarta telah menurunkan tim untuk mengecek kebenaran informasi yang disampaikan Daniel Mananta, namun kami mendorong agar dilakukan evaluasi besar-besaran terkait kurikulum pelajaran yang disampaikan di seluruh sekolah internasional yang ada di tanah air,” tegasnya.
Huda mengatakan evaluasi secara menyeluruh sekolah internasional di tanah air ini penting agar mereka tetap sesuai dengan koridor penyelenggaraan pendidikan yakni UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurutnya dalam UU 20/2003 jelas disebutkan jika tujuan pendidikan adalah agar peserta didik mampu mengembangkan potensi sehingga menjadi individu yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan terampil.
“Jadi meskipun sekolah internasional namun mereka tetap harus tunduk dengan UU Sisdiknas, toh banyak juga warga negara Indonesia yang menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah internasional. Jadi evaluasi secara menyeluruh terhadap pola didik mereka juga cukup penting,” tegasnya.
Sebelumnya, aktris Daniel Mananta menceritakan pengalamannya terkait salah satu sekolah internasional di Jabodetabek yang diduga mendukung dan memfasilitasi LGBT. Hal itu lantaran Daniel menemukan toilet ‘gender netral’ yang ada di sekolah tersebut.
Karena statusnya sebagai sekolah internasional, Daniel menganggap sekolah tersebut sudah terbuka dengan woke agenda yang memang sedang gencar-gencarnya dipromosikan di Amerika.
“Ini anak saya nih umur 10 tahun dia lagi mau masuk sekolah gitu. Nah, kemarin kita bawa ke sebuah sekolah di Indonesia, kawasan Jabodetabek. Mungkin karena ini sekolahnya sekolah yang sudah levelnya internasional, jadi mereka sangat terbuka sama yang namanya ‘woke agenda’,” ujar Daniel Mananta melansir dari akun YouTube Daniel Mananta Network pada Jumat (4/8).
Woke agenda sendiri adalah normalisasi identitas setiap individu berdasarkan apa yang mereka rasakan, bukan berdasarkan fakta biologis.
“Misalnya, identitas lu adalah adalah apa yang sedang lu rasakan, gitu. Kalau misalnya lu merasa sebagai seorang perempuan, ya berarti identitas lu adalah seorang perempuan,” tambah Daniel.
Menurut Daniel, orang tua adalah pendidikan pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan tentang seksualitas harusnya dimulai di rumah. Namun, banyak orang tua yang merasa malu dan akhirnya menyerahkan tempat ibadah atau sekolah yang mulai mengajarkan hal tersebut ke anak-anak mereka.
“Kadang-kadang kita mengharapkan udahlah biar sekolahan yang mengajarkan dia tentang seksualitas, biar agama atau tempat ibadahnya aja yang mengajarkan seksualitas, tapi sebagai orang tua justru gak berani ngajarin seksualitas karena awkward gitu,” pungkas Daniel. (jpc/kpfm)