LBH Palangka Raya Ikut Soroti Draf RUU Penyiaran

PALANGKA RAYA – Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah disusun oleh DPR RI dinilai bakal sangat mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Sejumlah pasal multitafsir dan sangat berpotensi digunakan oleh alat kekuasaan untuk membatasi kebebasan sipil dan partisipasi publik. Gelombang penolakan publik akan RUU Penyiaran ini begitu tinggi, terutama di kalangan insan pers dan LSM peduli demokrasi dari pelbagai daerah, salah satunya di Kalteng.

Salah satu poin yang menjadi sorotan banyak pihak adalah substansi Pasal 50 B ayat (2) huruf c terkait larangan liputan investigasi jurnalistik. Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye LBH Palangka Raya, Sandi Jaya Prima Saragih menjelaskan, poin tersebut merugikan masyarakat, sebab, dalam lingkup untuk membongkar kejahatan perusakan lingkungan hidup dan praktek perizinan yang masih sangat jauh dari rasa adil, maka produk jurnalistik kerap menjadi kanal alternatif untuk membongkar praktik kejahatan atau penyimpangan tindakan pejabat publik.

“Sebagai pilar keempat demokrasi, media punya peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi, khususnya yang melibatkan masyarakat sebagai fungsi kontrol. Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR bertolak belakang dengan semangat demokrasi dan menjadi polemik di masyarakat,” kata Sandi kepada wartawan, Sabtu (25/5).

Hal ini tatkala draf naskah RUU per 24 Maret 2024 yang sedang berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, terkait Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI, secara tersurat memuat ketentuan larangan liputan eksklusif investigasi jurnalistik.

“Rancangan tersebut tentu bermasalah dan patut ditolak karena bukan hanya mengancam kebebasan pers, tapi juga kabar buruk bagi masa depan perbaikan lingkungan hidup dan semangat reforma agraria  di Kalteng,” tutur Sandi.

Secara spesifik dalam konteks Kalteng, Sandi menyebut salah satu isu besarnya adalah terkait dengan izin yang dimiliki korporasi. Sebab, masih banyak korporasi yang melakukan aktivitas bisnisnya di luar HGU dan permasalahan ini kebanyakan hanya dapat terungkap melalui kegiatan jurnalistik investigasi.

“Di sektor perkebunan banyak yang masih belum memberikan plasma sehingga terjadi konflik di beberapa titik khususnya wilayah Seruyan dan Kotim namun di pemberitaan justru yang disampaikan terjadi pencurian, penjarahan, namun tidak disampaikan apa penyebab terjadinya hal itu dan cenderung ditutup-tutupi,” tuturnya. 

Fakta yang sebenarnya, lanjut Sandi, akan terungkap ketika para jurnalis melakukan investigasi langsung di lokasi kejadian. Jurnalis justru menemukan bahwa persoalan yang ada terjadi karena pihak korporasi tidak merealisasikan plasma.

“Maka dari itu, jika kegiatan jurnalisme investigasi dilarang, hal ini tidak hanya menghilangkan kebebasan pers justru malah penguasa dapat memberikan pemberitaan yang penuh dengan kebohongan demi kepentingan mereka saja,” tegasnya.

Berdasarkan hal di atas, pihaknya mendesak agar DPR dan Presiden menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi dan upaya pemberantasan korupsi. Mereka juga mendesak untuk menghapus pasal-pasal yang berpotensi multitafsir, membatasi kebebasan sipil, dan tumpang tindih dengan UU lain. “Kami juga meminta agar pihak pemerintah membuka ruang partisipasi bermakna dalam proses penyusunan RUU Penyiaran dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya dan menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers,” pungkasnya. (dan/ala/kpfm)

356 Views

Leave a Reply

Your email address will not be published.