
PALANGKA RAYA-Tuberculosis atau yang sering dikenal dengan TBC merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan oleh kuman mycobacteriustuberculosis. TBC menjadi sangat dikenal di Indonesia dengan kasus penyebaran yang cukup tinggi, termasuk di Provinsi Kalteng.
Menurut Pengelola Program TBC Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng, dr. Febiyanda Aris Nugraha, data estimasi kasus TBC di Kalteng mencapai 930.000 jiwa dan yang telah ditemukan kasus sekitar 3.825 jiwa pada tahun 2019 kemarin. Artinya, kasus yang belum ditemukan juga memiliki potensi penularan yang tinggi.
Walaupun sama-sama berbahaya dan menular melalui droplet serta saluran pernapasan, Aris menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan antara TBC dengan COVID-19, mulai dari gejala hingga cara penanganannya.
“Penularannya (TBC dan COVID-19) sama-sama droplet. Namun perbedaannya adalah pada diagnosisnya. Kalau COVID-19 dari virus, sedangkan TBC dari kuman atau bakteri,” ujar Aris saat talkshow di Kalteng Pos Radio, belum lama ini.
“Dan yang pasti, COVID-19 belum ada obat yang dapat menyembuhkan, sedangan TBC sudah ditemukan obatnya dan dapat diakses secara gratis,” tambahnya.
Dikatakanya, walaupun memiliki obat dalam membantu penyembuhan, masih banyak masyarakat yang menyepelekan penyakit TBC karena dianggap merupakan penyakit lama sehingga kurang memperhatikan kedisiplinan pada proses penyembuhan melalui konsumi obat yang telah tersedia, sehingga para penderita TB menjadi resisten atau obatnya sudah tidak mempan lagi dengan penyakit TBC tersebut.
“Ketika sudah mengkonsumsi, lalu stop, lalu nanti minum lagi. Jadi sembuhnya tidak betul-betul sembuh sempurna. Padahal obat TB harus dikonsumsi dalam waktu tertentu. Kadang, pada bulan pertama dan kedua merasa sudah sembuh, padahal belum sembuh,” ini yang bahaya. Selanjutnya, Aris mengimbau kepada masyarakat penderita TBC untuk tetap selalu berobat ke pelayanan kesehatan yang ada dan mengkonsumsi obat hingga sembuh total sehingga penularannya tidak semakin meningkat.(bud)