jpnn.com, JAKARTA – Presiden Jokowi menargetkan pemindahan Ibu Kota Negara dimulai tahun 2024.
Komite I DPD RI mengingatkan pemerintah jangan terburu-buru dalam merencanakan pemindahan Ibu Kota.
Alasannya, terdapat sejumlah persoalan yang dapat menghambat kebijakan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.
“Target pemindahan Ibu Kota Negara di tahun 2024 ini saya bilang lumayan ambisius, kekhawatiran kita wajar karena waktu empat tahun itu sangat cepat. P embangunan kota itu prosesnya panjang dan menyangkut multidimensi, apalagi persoalan membangun dan memindahkan Ibu Kota Negara,” ujar Ketua Komite I DPD RI Teras Narang berdasarkan rilis yang diterima di Jakarta, Senin (20/1/2020).
Teran menyebut sejumlah persoalan yang dapat menghambat target pemindahan ibu kota negara.
Pertama, permasalahan regulasi dan tata kelola pemerintahan.
Kedua, kedudukan Provinsi Kalimantan Timur dan DKI Jakarta pasca-pemindahan ibu kota negara.
Ketiga, permasalahan pertanahan dan tata ruang. Keempat, permasalahan pembiayaan. Kelima, beban anggaran.
Keenam, soal pemindahan Aparatur Sipil Negara (ASN). Ketujuh, dampak sosial budaya dan kemasyarakatan yang ditimbulkan.
Disebut, sejumlah persoalan itu yang mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komite I DPD RI bersama Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Dr. Yayat Supriatna, dan Bernardus Djonoputro, membahas mengenai rencana Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) di Ruang Rapat Komite I, Gedung B Lantai 2 Kantor DPD RI Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.
Ketua Majelis Kode Etik Perencana Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro memaparkan tantangan dalam merencanakan IKN adalah bagaimana mengoptimalkan pengembangan wilayah terpadu.
“Perlu penataan kota yang matang oleh pemerintah, paling standar pembangunan infrastruktur minimal, karena ketika akan mendesain IKN pasti berkaitan dengan isu lingkungan, perubahan iklim, penggunaan energi, investasi, transportasi, masalah hunian, air bersih menjadi tema saat ini, bahkan perlu dipikirkan dalam 20 sampai 30 tahun ke depan sustainable development goal-nya sebuah kota,” ujar dia.
Anggota Komite I DPD RI asal Nusa Tenggara Barat, Achmad Sukisman, menyoroti besarnya biaya yang harus dipersiapkan oleh pemerintah dalam memindahkan IKN hingga Rp 466 triliun dan pemerintah hanya mempersiapkan 20% dari APBN saat ini.
“Butuh biaya sangat besar untuk membangun di Kaltim, bahan baku saja perlu didatangkan dari tempat lain, karena tidak tersedia. Yang menjadi pertanyaan saya apakah mungkin empat tahun ini dapat dikebut? Jangan sampai pemerintahan yang baru nanti akan terbebani dalam melanjutkan program IKN baru tersebut,” kata Achmad Sukisman.
Sedangkan, anggota Komite I DPD RI asal Papua Barat Filep Wamafma mengatakan agar dampak pembangunan IKN nanti jangan sampai menggerus dan menghilangkan budaya dan keberadaan masyarakat lokal.
“Saya harap jangan sampai seperti Jakarta kehilangan suku aslinya yang terpinggirkan, saya minta nanti negara harus menjamin hak-hak masyarakat adat dan meningkatkan efek ekonomi juga kepada mereka,” ujar dia.
Komite I DPD RI sebagai salah satu alat kelengkapan DPD RI yang membidangi urusan pemerintahan daerah, pertanahan dan tata ruang, hubungan pusat-daerah, aparatur sipil negara, perbatasan, desa, dan pertahanan keamanan berkepentingan mendapatkan informasi yang komprehensif dari berbagai sumber, khususnya pada kesempatan kali ini dari aspek perencanaan, desain, dan tata ruang pemindahan ibu kota negara.
Rencana pemindahan ibukota kerap mengundang perdebatan. Perdebatan itu sendiri menunjukkan bahwa ibukota bukan sekedar pusat pemerintahan negara semata, tetapi juga menyangkut sejarah, tata kelola pemerintahan, pelayanan, keamanan, anggaran, kelembagaan, dan sebagainya.
“Komite I berusaha mengelaborasi semua persoalan ini sebagai bahan masukan dalam RUU IKN nanti berjalan dengan baik dan diterima oleh semua pihak serta berkeadilan bagi daerah,” kata Ketua Komite I DPD RI Teras Narang. (antara/jpnn)